Wednesday, November 30, 2011

Analisis Jurnal Supply Demand Cengkeh

1. Pendahuluan

Cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia, yang pada awalnya merupakan komoditas ekspor, berubah posisi menjadi komoditas yang harus diimpor karena pesatnya perkembangan industri rokok kretek. Selain digunakan sebagai bahan baku rokok, bunga, gagang dan daun cengkeh dapat disuling menghasilkan minyak cengkeh yang mengandung eugenol.

Pasokan minyak cengkeh Indonesia ke pasar dunia cukup besar yaitu lebih dari 60 persen kebutuhan dunia, tetapi produksi sebesar itu tergantung dari keadaan musim. Walaupun kebutuhan akan minyak cengkeh tidak diunggulkan di tingkat pasar internasional, tetapi setidaknya peluang usaha untuk memproduksi minyak cengkeh juga memberikan keuntungan yang cukup besar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan tingkat supply demand dari komoditas minyak daun cengkeh & aspek-aspek yang ada di dalam pemasaran minyak cengkeh.

2. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan memakai metode sekunder, dimana data hasil penelitian diambil dari bagian Litbang, Departemen Pertanian.

3. Pengumpulan & Pengolahan Data

Permintaan
Minyak daun cengkeh memiliki pasar yang sangat luas terutama di pasar internasional. Misalnya, di wilayah Kulon Progo, permintaan minyak daun cengkeh oleh pedagang pengumpul, yaitu PT. Djasula Wangi di Solo, CV. Indaroma di Yogyakarta, dan PT. Prodexco di Semarang. Dari informasi yang terakhir dikumpulkan, permintaan minyak daun cengkeh selalu meningkat dan sering terjadi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas produksi industri kecil minyak daun cengkeh yang terbatas. Permintaan dalam jumlah besar untuk waktu yang singkat biasanya diusahakan secara berkelompok.

Tabel 1. Ekspor Minyak Daun Cengkeh



Sumber: BPS, 1997


Pemanfaatan minyak cengkeh, untuk dunia industri memang cukup luas. terutama untuk keperluan industri farmasi atau obat- obatan. Begitu juga untuk industri parfum, yang merupakan campuran utama untuk Geranium, Bergamot, Caraway, Cassie dan bahan untuk pembuatan vanillin sintetis sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Sebagian besar hasil produksi minyak daun cengkeh diekspor ke luar negeri.

Penawaran
Dari segi penawaran, suplai minyak daun cengkeh relatif masih kurang. Masih diperlukan tambahan produksi untuk memenuhi permintaan pasar. Selain Kabupaten Kulon Progo, sentra produksi pengolahan minyak daun cengkeh juga terdapat di Kabupaten Blitar dan Trenggalek. Produksi minyak daun cengkeh dari daerah Blitar cukup besar, dengan rata-rata setiap tahunnya mencapai 80 ton. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Pertambangan dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Blitar, produksi rata-rata 80 ton per tahun itu hanya dihasilkan oleh 5 unit industri yang semuanya tergolong industri kecil.
Potensi usaha minyak daun cengkeh masih sangat luas di Indonesia terutama di daerah-daerah yang dekat dengan sumber bahan baku. Saat ini, cengkeh telah dibudidayakan di hampir seluruh wilayah Indonesia sehingga potensi untuk mendirikan usaha pengolahan minyak daun cengkeh sangatlah besar.
ASPEK PEMASARAN
Pemasaran minyak daun cengkeh dapat melalui para pedagang pengumpul maupun langsung ke pihak produsen barang jadi yang membutuhkan. Namun pada umumnya jalur penjualan ke pedagang pengumpul relatif lebih mudah. Harga yang ada di pasar perdagangan minyak daun cengkeh dalam negeri juga relatif stabil.

1. Harga

Harga minyak daun cengkeh relatif stabil pada tahun 2002 dan 2003. Pada awal tahun 2002 harga minyak daun cengkeh mencapai Rp 29.500,- dan pada tahun 2003 berfluktuasi antara Rp 23.000,- sampai Rp 25.000,- per kilogram. Harga tersebut juga cenderung stabil hingga memasuki tahun 2004. Fluktuasi harga minyak daun cengkeh sedikit banyak juga dipengaruhi oleh fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat krisis tahun 1997, harga minyak daun cengkeh bisa mencapai Rp 57.000,- per kilogram (data primer). Berdasarkan data primer lapangan yang diperoleh, para pengusaha minyak daun cengkeh memperkirakan harga untuk kondisi breakeven point (BEP) atau impas adalah sekitar Rp 20.000,- per kilogram. Dengan melihat selisih harga pada kondisi BEP dengan harga jual di pasar, maka usaha ini cukup menjanjikan.

2. Jalur Pemasaran

Secara umum, jalur pemasaran minyak daun cengkeh tidak berbeda dengan komoditi pertanian lainnya. Di pemasaran dalam negeri, produsen menjual produk ke pedagang pengumpul atau agen eksportir. Barulah kemudian produk tersebut sampai ke tangan eksportir. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar perdagangan minyak daun cengkeh adalah untuk ekspor.
Pada praktiknya, keadaan pasar sering dipengaruhi oleh orang yang pertama kali melakukan proses transaksi. Ada beberapa situasi pemasaran yang terjadi. Pertama, pihak produsen langsung menjual produk ke tengkulak, pedagang perantara, atau agen eksportir. Dalam hal ini, produsen memiliki posisi tawar yang lemah. Harga lebih banyak dipengaruhi oleh pembeli. Situasi kedua, pihak pembeli yang mencari produsen. Pada situasi ini, produsen dapat memperoleh harga yang relatif lebih baik. Hal ini seringkali terjadi, terbukti dengan adanya pemesanan dengan uang muka terlebih dahulu oleh pembeli kepada produsen sementara minyak daun cengkeh masih pada proses produksi.

Jalur pemasaran minyak daun cengkeh dari pengusaha pengolahan sebagian besar ditampung terlebih dahulu oleh para pengumpul. Dari survai di wilayah Kulon Progo, setidaknya ada tiga perusahaan pengumpul yang cukup besar, yaitu PT Djasula Wangi di Solo, CV Indaroma di Yogyakarta, dan PT Prodexco di Semarang.
Untuk jalur pemasaran luar negeri ada beberapa pihak yang mungkin terlibat, yaitu pemakai (end-user), broker murni, broker merangkap trader, dan pedagang (trader). Jalur perdagangan minyak daun cengkeh dapat digambarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Pemasaran tersebut juga dapat menjadi lebih pendek. Produsen menjual minyak daun cengkeh pada pedagang kecil dan pedagang besar dan kedua jenis pedagang tersebut langsung menjualnya pada eksportir, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 bagian bawah.




3. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang utama pada minyak daun cengkeh ini adalah mata rantai perdagangan yang cukup panjang. Para pengusaha pengolahan minyak daun cengkeh masih mengalami kesulitan untuk memasok langsung ke eksportir atau end-user. Akibat panjangnya rantai perdagangan ini adalah ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Faktor yang harus diperhatikan dalam upaya pemasaran minyak daun cengkeh, terutama untuk tujuan ekspor adalah dengan memperhatikan kualitas, harga yang kompetitif dan keberlangsungan produksi. Secara umum, kendala pemasaran minyak daun cengkeh disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
mutu yang rendah karena sifat usaha penyulingan minyak daun cengkeh yang umumnya berbentuk usaha kecil dengan berbagai keterbatasan modal dan teknologi,
pemasaran dalam negeri masih bersifat buyer market (harga ditentukan pembeli) karena lemahnya posisi tawar pengusaha pengolah, dan
harga yang berfluktuasi (dalam dan luar negeri) akibat tidak terkendalinya produksi dalam negeri dan persaingan negara sesama produsen.

4. Analisis & Pembahasan
Tingkat persaingan minyak daun cengkeh Indonesia di pasar internasional terutama ditentukan oleh kualitas minyak daun cengkeh yang dihasilkan Indonesia dan negara-negara pesaing, seperti Madagaskar, Tanzania dan Srilanka. Negara penghasil minyak atsiri bukan hanya berasal dari negara-negara berkembang saja, seperti Cina, Brasil, Indonesia, India, Argentina dan Meksiko melainkan juga negara maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris. Perbedaannya, negara-negara berkembang lebih banyak memproduksi minyak atsiri menjadi bahan setengah jadi dan kemudian mengekspornya ke negara maju. Lain halnya yang dilakukan oleh negara maju. Meskipun mereka mengimpor bahan setengah jadi dari negara berkembang untuk diolah menjadi barang jadi, mereka mengekspornya sebagian kembali ke negara-negara lain termasuk negara berkembang dalam bentuk barang jadi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun demikian, peluang pasar minyak daun cengkeh masih terbuka luas terutama di pasar dunia yang volume permintaannya terus meningkat.
Cengkeh yang dihasilkan Indonesia hampir seluruhnya untuk industri rokok di dalam negeri. Menurut data GAPPRI (2005) penggunaan cengkeh tahun 2000 - 2004 berkisar antara 85 ribu sampai 96 ribu ton, dengan rata-rata 92.133 ton/tahun. Trend kebutuhan (konsumsi) cengkeh untuk rokok kretek 1983-2004 meningkat sebesar 1,90%.
Lebih jauh, data BPS menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1998 - 2004 harga cengkeh berfluktuasi sangat tajam, mencapai Rp. 123.460,- pada saat panen kecil (tahun1999) dan anjlok menjadi Rp. 12.500,- pada saat panen besar (tahun 2003). Berdasarkan biaya produksi, harga yang layak menurut petani adalah Rp. 30.000,- Rp. 40.000,-/kg cengkeh kering. Dengan tingkat harga tersebut petani memperoleh 1/3 bagian keuntungan dari usahataninya, biaya panen mencapai Rp. 10.000,-/kg cengkeh kering dan biaya pemeliharaan hampir setara dengan biaya panen.
Harga minyak cengkeh di pasar dunia sangat ditentukan oleh harga bunga cengkeh di dalam negeri. Pada saat harga bunga cengkeh rendah yaitu tahun 2000 dan 2003, harga minyak cengkeh di pasaran dunia turun drastis. Ekspor dan impor cengkeh selalu berfluktuasi setiap tahunnya. Pada saat panen besar di dalam negeri, ekspor cengkeh meningkat seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2003. Sebaliknya pada saat panen kecil impor cengkeh meningkat seperti yang terjadi pada tahun 1999-2001.


5. Daftar Pustaka
www.litbang.deptan.go.id
www.bi.go.id

Mata Kuliah : Teori Ekonomi
Dosen : Pak Prihantoro

Saturday, November 26, 2011

Kebijakan Subsidi dan Monopoli Distribusi Pada Industri Pupuk

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam budidaya pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah dikeluarkan pemerintah selama ini. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja ekonomi pupuk yang meliputi produksi,ketersediaan, tingkat harga dan tingkat penggunaan oleh petani.

Kebijakan yang terkait dengan industri pupuk yaitu: penghapusan perbedaan harga pupuk untuk subsektor tanaman pangan dan untuk subsektor perkebunan, penghapusan subsidi pupuk secara bertahap setidak-tidaknya dalam 3 tahun, menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru, menghapus sistem holding company dan membiarkan terjadinya kompetisi yang sehat antar produsen pupuk, dan penghapusan kuota ekspor dan pengontrolan terhadap impor pupuk.

Secara makro kebijakan penghapusan subsidi pupuk, merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana pembangunan. Sementara, kenaikan harga pupuk sebagai akibat penghapusan subsidi tersebut diharapkan dapat menjadidorongan pada petani agar dapat menggunakan pupuk secara lebih efisien (Darmawan etal., 1995). Penggunaan pupuk yang semakin efisien merupakan inovasi baru yang menjanjikan keuntungan, karena mendorong petani untuk berupaya membiayai input usahataninya sendiri (Dillon dan Hardaker, 1980). Motivasi ini merupakan aspek yang penting dalam upaya meningkatkan daya saing komoditas-komoditas pertanian pada kondisi pasar produkyang juga semakin efisien (Hadi et al., 1997).

Kebijakan distribusi pupuk

Sebelum tahun 1998, seluruh pupuk terutama pupuk Urea masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pemberian subsidi ini bertujuan untuk mensukseskan program pengadaan pangan serta menciptakan stabilitas politik nasional. Bagi petani yang lemah dalam permodalan, subsidi ini merupakan bantuan yang sangat dibutuhkan. Untuk pendistribusiannya dilibatkan berbagai pihak yaitu PT. Pusri, KUD, Perusahaan swasta dan PT.Pertani. PT. Pusri menangani pendistribusian dari Lini I sampai Lini III, selanjutnya dari Lini III ke Lini IV penyaluran pupuk untuk tanaman pangan menjadi tanggung jawab KUD, sedangkan pendistribusian pupuk untuk pertanian non pangan menjadi tanggung jawab beberapa penyalur swasta dan PT. Pertani. Menurut kapasitas terpasang, dari seluruh pabrik pupuk dalam negeri mampu diproduksi pupuk Urea lebih dari 6,8 juta ton per tahun, padahal konsumsi dalam negeri hanya berkisar 4,4 – 4,5 juta ton per tahun. Namun demikian, ironisnya hampir setiap tahun dalam bulan-bulan tertentu masih terjadi kelangkaan pupuk pada saat petani membutuhkan. Berikut ini diuraikan seri kebijakan distribusi pupuk oleh pemerintah dari waktu ke waktu.

Era Program Bimas (semi regulated period)1960-1979

Pada masa ini semua kebutuhan pupuk masih diimpor. Program pendistribusian awalnya diatur dengan Program Padi Sentra. Namun, ternyata program ini mnegalami kegagalan karena ketidakmampuan para petani membayar kredit. Kemudian, pemerintah menyerahkan pendistribusian kepada PN Pertani dengan dibantu oleh PT Panca Niaga, PT Cipta Niaga, PT Intradata, PT Lamtoro Agung dan PT Jaya Niaga.

Era Pupuk Disubsidi dan Ditataniagakan (fully regulated)1979-1998

Era ini dapat dibagi atas 2 periode, yaitu periode 1979-1993 dan 1993-1998. Periode 1979-1993 disebut sebagai era regulasi penuh, dimana semua hal yang menyangkut pupuk untuk sektor pertanian diatur secara penuh oleh pemerintah. Selama periode ini, pupuk disubsidi dan ditataniagakan secara menyeluruh, pengadaan dan penyaluran pupuk ke sektor pertanian relatif aman.

Periode ke-2 tahun 1993-1998, pertimbangan anggaran subsidi pupuk semakin besar. Maka, diambil beberapa kebijakan. Pada periode ini, pemerintah melakukan pencabutan subsidi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan.

Era Pasar Bebas (free market and semiregulated) 1998-2001

Kebijakan pasar bebas mulai diberlakukan sejak 1 Desember 1998. Dengan kebijakan ini, pengadaan dan penyaluran pupuk tidak lagi berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang mengatur dan menjamin kesediaan pupuk yang dibutuhkan petani. Akan tetapi, kebijakan pasar bebas ini pada kenyataanya tidak bisa memperbaiki metode penyaluran pupuk di dalam negeri. Akhirnya, terjadi kelangkaan di beberapa daerah yang menyebabkan ketidakstabilan di insdustri pupuk.

Pola Distribusi Pupuk

Sebelum diterapkan kebijakan pasar bebas dalam tataniaga dan penghapusan subsidi pupuk, hak monopoli telah diberikan pemerintah kepada PT. Pusri sebagai distributor tunggal pupuk. Pupuk hanya disalurkan hingga tingkat KUD penyalur pupuk. Sedangkan pupuk yang akan digunakan selain untuk kebutuhan pangan disalurkan oleh PT Petani dan penyalur swasta yang di tentukan PT. Pusri. Ini bertujuan untuk mengontrol penyaluran sehingga kendala-kendala dalam pendistribusian dapat di kontrol.

Setelah dicabutnya hak monopoli PT. Pusri semakain terbuka kesempatan pihak swasta dan LSM dalam tata niaga pupuk, namun kebijakan ini akan menyebabkan harga yang bersaing. Sehingga untuk mengontrolnya PT. Pusri masih berperan dominan, akan tetapi LSM sudah berpartisipasi walau sedikit.

Kriteria Pendistribusian

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun tataniaga pupuk yang berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan pupuk di tingkat petani agar Program Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan yang wajar dari tataniaga ini.

Sesuai ketentuan dalam SK. Menperindag No. 93/MPP/Kep./3/2001 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian, perlu diatur mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya seperti berikut:

1. Rayonisasi Wilayah pemasaran

Bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk pengamanan pengadaan pupuk agar tidak dimonopoli oleh PT. Pusri Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung jawab adalah sebagai berikut: Pusri (Aceh, Sumbar, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sultra, Sulteng, Sulsel, Maluku dan Irja), Kujang (Jabar), Petrokimia Gresik (Jatim), Pupuk Kaltim (Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel) dan Iskandar Muda (Aceh, Sumut dan Riau).

2. Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten

Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari Kabupaten, selain dimaksudkan untuk mendekatkan dengan konsumen, juga untuk membatasi gerak distributor yang selama ini tidak terkendali. Dengan adanya pengaturan tersebut, baik unit niaga PT Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual pupuk Urea pada pengecer atau konsumen mulai di Lini III. Khusus untuk PTPN dan Perkebunan Besar Swasta, pengadaan pupuk dapat dilakukan langsung dari produsen maupun unit niaga PT Pusri melalui mekanisme yang berlaku.

3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat

Dalam konteks ini ditetapkan dua pola yaitu Pola umum & Pola distribusi. Dalam Pola umum produsen Urea (Pusri, PetrokimiaGresik, Kujang, Kaltim dan PIM) harus menjual melalui distributor kabupaten. Unit niaga PT Pusri dan distributor yang ditunjuk produsen menyediakan pupuk sampai pada Lini III dan menjual melalui pengecer yang terdiri dari koperasi swasta dan, Usaha Kecil dan Menengah.

Dalam ketentuan rayonisasi distribusi, setiap produsen ditugaskan melakukan pemerataan dan percepatan distribusi dan bertanggung jawab atas setiap daerah kewajibannya. Kebutuhan Urea untuk subsektor tanaman pangan utamanya dijual oleh/melalui unit niaga PT Pusri. Kebutuhan Urea untuk sub sektor tanaman pangan di sekitar pabrik dan sub sektor perkebunan dijual sendiri oleh masing-masing produsen melalui distributornya. Produsen yang menjual Urea untuk sektor perta- nian mewajibkan distributornya menjual pupukSP 36 dan ZA produksi PT Petrokimia Gresik, sebagai upaya untuk mengaplikasikan pemupukan berimbang.

Dampak Ekonomi




Kurva Subsidi

Harga pupuk sebelum disubsidi oleh pemerintah berada pada E2 dan Q2, setelah di subsidi harga pupuk turun dan kuantitasnya meningkat menjadi Q1. Keduanya bertemu pada harga equilibrium pada E1. Artinya dengan subsidi dari pemerintah, harga dari pupuk akan menurun dan kuantitas pupuk akan meningkat.

Ketika subsidi terhadap pupuk dicabut maka harga pupuk akan meningkat, hal ini mengakibatkan jumlah penawaran pupuk bertambah dan jumlah permintaannya berkurang.
Seperti yang telah diketahui, pemerintah melakukan hal ini agar petani dapat melakukan efesiensi dalam penggunaan pupuknya.

Pada kenyataannya ketika pendistribusian pupuk dimonopoli, terjadi kelangkaan pupuk di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah permintaan pupuk di suatu daerah dengan daerah lainnya. Akhirnya, industri pupuk cenderung tidak stabil. Dengan dicabutnya monopoli pendistribusian pupuk, pemerintah berharap agar pupuk dapat terdistribusikan secara merata, menghilangkan kelangkaan pupuk dan industri pupuk menjadi stabil.

Perekonomian pupuk saat ini

Saat ini penggunaan pupuk bersubsidi di dalam negeri masih rendah dan jauh dari target,tetapi tidak berarti produsen pupuk merugi. Itu dikarenakan pasar ekspor pupuk yang masih terbuka sehingga produsen dapat mengalihkan penjualannya kepada pasar ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume ekspor pupuk pada September 2011 mencapai 280.106 ton atau melonjak 1.670,5% dibandingkan volume bulan sebelumnya yang 15.820 ton. Maka, volume ekspor pupuk Januari September 2011 tercatat mencapai 412.747 ton, naik 243,12% dari volume ekspor pada periode yang sama tahun 2010 yang hanya 120.292 ton.

Musim panas yang cukup panjang menyebabkan penyerapan pupuk di dalam negeri lambat,sehingga cadangan pupuk cukup banyak dan permintaan untuk pasar dalam negeri sudah terpenuhi sehingga pupuk yang masih tersisa dapat di ekspor. Namun pada saat memesuki musim hujan permintaan pun akan meningkat karena sudah masuk musim tanam.

Sesuai dengan kenaikan volume, nilai ekspor pupuk pada September 2011 juga naik 2.057,6% dari US$ 6,49 juta pada Agustus 2011 menjadi US$ 140,14 juta. Kenaikan tersebut juga terdongkrak oleh kenaikan harga pupuk di pasar ekspor. Pada Agustus rata-rata harga pupuk US$ 410 per ton sementara pada September mencapai US$ 500 per ton karena tingginya permintaan memasuki musim tanam. Harga pupuk memang terbilang fluktuatif itu dikarenakan tergan tung pada musim tanam. Harga pupuk sekarang tinggal sekitar US$ 480 per ton. Mungkin karena musim tanam di India, Vietnam, dan Thailand sudah hampir selesai jadi permintaan dan harga turun.

Selain faktor permintaan, peraturan China mengenai ekspor pupuk, seperti larangan ekspor dan pengenaan bea keluar, juga mempengaruhi harga pupuk di pasar internasional. BPS mencatat, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk mencapai US$ 351.48 juta, naik 192,19% dari nilai ekspor periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 120,29 juta. (dat16/wol/kontan)
Sumber
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE22-1-05.pdf
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=224293:ekspor-pupuk-melonjak-tinggi&catid=18:bisnis&Itemid=95

Materi kuliah : Teori Ekonomi 1
Dosen :Pak Prihantoro

Pengaruh Penetapan Batas Harga oleh Pemerintah Saat Terjadinya Pergeseran Kurva Penawaran



Jika harga barang naik maka akan terjadi penurunan jumlah barang yang diproduksi seiring dengan menurunnya jumlah permintaan. Karena masyarakat mengharapkan bisa membeli suatu barang dengan harga yang rendah sehingga jika terjadi kenaikan harga, hanya sekelompok masyarakat tertentu (yang berpenghasilan di atas rata-rata) yang tetap membeli barang yang diproduksi perusahaan tersebut.

Ketika pemerintah menetapkan batas harga yang nilainya diantara harga awal dan harga setelah terjadinya kenaikan, maka jumlah barang yang diminta diharapkan naik oleh perusahaan. Hal ini akan mempengaruhi ke revenue perusahaan yang berakibat pada perubahan jumlah laba yang diterima oleh perusahaan. Pada saat pemerintah menetapkan batas harga maka harga yang diterapkan suatu perusahaan dalam menjual barang yang akan diproduksinya akan lebih rendah dari harga sebelumnya. Hal ini berakibat perusahaan tersebut mengalami penurunan dalam jumlah laba yang dihasilkan. Perusahaan berusaha tetap memperoleh sejumlah tertentu laba dalam kondisi harga jual ke masyarakat lebih rendah dari harga jual yang sebelumnya akibat penetapan batas harga oleh pemerintah sehingga barang tersebut dapat dijangkau oleh lebih banyak kalangan masyarakat.

Penetapan batas harga ini menyebabkan perusahaan mengalami penurunan laba karena tingginya biaya produksi sementara harga yang ditetapkan pemerintah tidak sebanding untuk bisa menutupi biaya produksi sekaligus memperoleh laba. Karena itu diperlukan adanya efisiensi dalam penggunaan teknologi untuk memproduksi barang sehingga dengan biaya produksi yang minimal dapat menghasilkan kuantitas produk yang banyak. Perusahaan membutuhkan modal untuk menciptakan efisiensi produksi melalui peningkatan teknologi. Modal tersebut didapat dari subsidi oleh pemerintah atau melalui penjualan saham dan obligasi perusahaan ( go publik ).

Setelah penetapan batas harga, jumlah barang yang diminta lebih besar daripada jumlah yang ditawarkan. Sehingga ada kemungkinan konsumen beralih ke barang subtitusi yang lain yang sejenis untuk memenuhi kebutuhannya akan barang sebelumnya yang tidak bisa didapat karena jumlah yang diproduksi hanya sedikit. Atau pemerintah melakukan kebijakan impor barang untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan barang di dalam negeri yang berkurang.




Materi kuliah : Teori Ekonomi 1
Dosen : Pak Prihantoro



Tuesday, November 8, 2011

Kajian Supply Demand Komoditas Cengkeh

1. Permintaan

Minyak daun cengkeh memiliki pasar yang sangat luas terutama di pasar internasional. Misalnya, di wilayah Kulon Progo, permintaan minyak daun cengkeh oleh pedagang pengumpul, yaitu PT. Djasula Wangi di Solo, CV. Indaroma di Yogyakarta, dan PT. Prodexco di Semarang. Dari informasi yang terakhir dikumpulkan, permintaan minyak daun cengkeh selalu meningkat dan sering terjadi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas produksi industri kecil minyak daun cengkeh yang terbatas. Permintaan dalam jumlah besar untuk waktu yang singkat biasanya diusahakan secara berkelompok.



Pemanfaatan minyak cengkeh, untuk dunia industri memang cukup luas. terutama untuk keperluan industri farmasi atau obat- obatan. Begitu juga untuk industri parfum, yang merupakan campuran utama untuk Geranium, Bergamot, Caraway, Cassie dan bahan untuk pembuatan vanillin sintetis sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Sebagian besar hasil produksi minyak daun cengkeh diekspor ke luar negeri.

2. Penawaran

Dari segi penawaran, suplai minyak daun cengkeh relatif masih kurang. Masih diperlukan tambahan produksi untuk memenuhi permintaan pasar. Selain Kabupaten Kulon Progo, sentra produksi pengolahan minyak daun cengkeh juga terdapat di Kabupaten Blitar dan Trenggalek. Produksi minyak daun cengkeh dari daerah Blitar cukup besar, dengan rata-rata setiap tahunnya mencapai 80 ton. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Pertambangan dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Blitar, produksi rata-rata 80 ton per tahun itu hanya dihasilkan oleh 5 unit industri yang semuanya tergolong industri kecil.
Potensi usaha minyak daun cengkeh masih sangat luas di Indonesia terutama di daerah-daerah yang dekat dengan sumber bahan baku. Saat ini, cengkeh telah dibudidayakan di hampir seluruh wilayah Indonesia sehingga potensi untuk mendirikan usaha pengolahan minyak daun cengkeh sangatlah besar.

3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar

Tingkat persaingan minyak daun cengkeh Indonesia di pasar internasional terutama ditentukan oleh kualitas minyak daun cengkeh yang dihasilkan Indonesia dan negara-negara pesaing, seperti Madagaskar, Tanzania dan Srilanka. Negara penghasil minyak atsiri bukan hanya berasal dari negara-negara berkembang saja, seperti Cina, Brasil, Indonesia, India, Argentina dan Meksiko melainkan juga negara maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris. Perbedaannya, negara-negara berkembang lebih banyak memproduksi minyak atsiri menjadi bahan setengah jadi dan kemudian mengekspornya ke negara maju. Lain halnya yang dilakukan oleh negara maju. Meskipun mereka mengimpor bahan setengah jadi dari negara berkembang untuk diolah menjadi barang jadi, mereka mengekspornya sebagian kembali ke negara-negara lain termasuk negara berkembang dalam bentuk barang jadi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun demikian, peluang pasar minyak daun cengkeh masih terbuka luas terutama di pasar dunia yang volume permintaannya terus meningkat

ASPEK PEMASARAN

Pemasaran minyak daun cengkeh dapat melalui para pedagang pengumpul maupun langsung ke pihak produsen barang jadi yang membutuhkan. Namun pada umumnya jalur penjualan ke pedagang pengumpul relatif lebih mudah. Harga yang ada di pasar perdagangan minyak daun cengkeh dalam negeri juga relatif stabil.

1. Harga

Harga minyak daun cengkeh relatif stabil pada tahun 2002 dan 2003. Pada awal tahun 2002 harga minyak daun cengkeh mencapai Rp 29.500,- dan pada tahun 2003 berfluktuasi antara Rp 23.000,- sampai Rp 25.000,- per kilogram. Harga tersebut juga cenderung stabil hingga memasuki tahun 2004. Fluktuasi harga minyak daun cengkeh sedikit banyak juga dipengaruhi oleh fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat krisis tahun 1997, harga minyak daun cengkeh bisa mencapai Rp 57.000,- per kilogram (data primer). Berdasarkan data primer lapangan yang diperoleh, para pengusaha minyak daun cengkeh memperkirakan harga untuk kondisi breakeven point (BEP) atau impas adalah sekitar Rp 20.000,- per kilogram. Dengan melihat selisih harga pada kondisi BEP dengan harga jual di pasar, maka usaha ini cukup menjanjikan.

2. Jalur Pemasaran

Secara umum, jalur pemasaran minyak daun cengkeh tidak berbeda dengan komoditi pertanian lainnya. Di pemasaran dalam negeri, produsen menjual produk ke pedagang pengumpul atau agen eksportir. Barulah kemudian produk tersebut sampai ke tangan eksportir. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar perdagangan minyak daun cengkeh adalah untuk ekspor.
Pada praktiknya, keadaan pasar sering dipengaruhi oleh orang yang pertama kali melakukan proses transaksi. Ada beberapa situasi pemasaran yang terjadi. Pertama, pihak produsen langsung menjual produk ke tengkulak, pedagang perantara, atau agen eksportir. Dalam hal ini, produsen memiliki posisi tawar yang lemah. Harga lebih banyak dipengaruhi oleh pembeli. Situasi kedua, pihak pembeli yang mencari produsen. Pada situasi ini, produsen dapat memperoleh harga yang relatif lebih baik. Hal ini seringkali terjadi, terbukti dengan adanya pemesanan dengan uang muka terlebih dahulu oleh pembeli kepada produsen sementara minyak daun cengkeh masih pada proses produksi.
Jalur pemasaran minyak daun cengkeh dari pengusaha pengolahan sebagian besar ditampung terlebih dahulu oleh para pengumpul. Dari survai di wilayah Kulon Progo, setidaknya ada tiga perusahaan pengumpul yang cukup besar, yaitu PT Djasula Wangi di Solo, CV Indaroma di Yogyakarta, dan PT Prodexco di Semarang.
Untuk jalur pemasaran luar negeri ada beberapa pihak yang mungkin terlibat, yaitu pemakai (end-user), broker murni, broker merangkap trader, dan pedagang (trader). Jalur perdagangan minyak daun cengkeh dapat digambarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Pemasaran tersebut juga dapat menjadi lebih pendek. Produsen menjual minyak daun cengkeh pada pedagang kecil dan pedagang besar dan kedua jenis pedagang tersebut langsung menjualnya pada eksportir, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 bagian bawah.




3. Kendala Pemasaran

Kendala pemasaran yang utama pada minyak daun cengkeh ini adalah mata rantai perdagangan yang cukup panjang. Para pengusaha pengolahan minyak daun cengkeh masih mengalami kesulitan untuk memasok langsung ke eksportir atau end-user. Akibat panjangnya rantai perdagangan ini adalah ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Faktor yang harus diperhatikan dalam upaya pemasaran minyak daun cengkeh, terutama untuk tujuan ekspor adalah dengan memperhatikan kualitas, harga yang kompetitif dan keberlangsungan produksi. Secara umum, kendala pemasaran minyak daun cengkeh disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. mutu yang rendah karena sifat usaha penyulingan minyak daun cengkeh yang umumnya berbentuk usaha kecil dengan berbagai keterbatasan modal dan teknologi,
2. pemasaran dalam negeri masih bersifat buyer market (harga ditentukan pembeli) karena lemahnya posisi tawar pengusaha pengolah, dan
3. harga yang berfluktuasi (dalam dan luar negeri) akibat tidak terkendalinya produksi dalam negeri dan persaingan negara sesama produsen.


Sumber: www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50804&idrb=45001
mata kuliah teori ekonomi 1 ( Dosen - Dr Prihantoro)


Saturday, November 5, 2011

Pergeseran Kurva Penawaran





Penawaran adalah keseluruhan jumlah barang yang bersedia ditawarkan pada berbagai
tingkat harga tertentu dan waktu tertentu. Jika harga naik, jumlah barang yang ditawarkan bertambah. Begitu juga ketika harga turun, maka jumlah barang yang ditawarkan juga turun atau semakin sedikit.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penawaran

1.Harga dari Sumber Daya yang Terkait

Jika harga bahan baku penyusun yang digunakan untuk memproduksi baju meningkat maka biaya pembuatan atau produksinya akan menjadi tinggi, dengan demikian produsen akan memproduksi baju lebih sedikit pada tingkat harga yang tetap. Hal ini menyebabkan jumlah baju yang ditawarkan berkurang dan kurva penawarannya akan bergeser ke kiri atas(gambar b). Namun jika harga bahan baku penyusun baju tersebut menurun maka biaya produksi tidak terlalu tinggi dan produsen akan memproduksi baju dengan jumlah yang lebih banyak daripada ketika saat harga bahan baku tinggi. Hal ini menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan bawah( gambar a ), karena jumlah baju yang tersedia untuk dijual meningkat pada tingkat harga yang sama.

2. Teknologi

Para produsen baju menawarkan dan menjual baju dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimal. Keuntungan adalah selisih antara harga jual produk dengan biaya produksi. Semakin besar keuntungan maka semakin banyak barang diproduksi dan ditawarkan. Bila harga jual tetap tidak berubah maka keuntungan akan lebih besar jika biaya produksi turun. Maka penurunan biaya produksi akan menaikkan penawaran karena produsen dapat menjual ( menghasilkan ) lebih banyak baju pada tingkat harga yang sama. Teknologi produksi yang lebih efisien dan/atau penurunan harga sumber daya penyusun barang menyebabkan penurunan biaya produksi dan hal ini akan menaikkan jumlah penawaran, kurva penawaran bergeser ke kanan bawah.

Sebaliknya kenaikan harga sumber-sumber daya atau penggunaan teknologi yang kurang efisien akan menyebabkan penurunan penawaran dan menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri atas.

3. Jumlah Penjual ( Number of Sellers )

Jika jumlah penjual baju bertambah banyak, penawaran total terhadap baju juga akan bertambah, kurva penawaran akan bergeser ke kanan bawah. Pada tingkat harga yang berlaku, lebih banyak baju yang ditawarkan untuk dijual. Namun pada saat jumlah penjual baju berkurang, penawaran baju menjadi berkurang, jumlah baju yang ditawarkan untuk dijual menjadi sedikit, kurva penawaran bergeser ke kiri atas.

4.Perkiraan Harga di Masa Depan

Dalam kasus produksi baju atau kaos, jika diperkirakan harga baju akan naik di masa depan maka produsen baju akan mengurangi produksinya untuk masa sekarang dan mempersiapkan diri dengan memperbanyak output produksi di masa depan dengan harapan bisa menawarkan atau menjual lebih banyak ketika harga naik akibat berbagai faktor. Para produsen akan mencoba menahan barangnya, menunggu kenaikan harga. Hal ini menyebabkan pergeseran kurva penawaran seperti terlihat pada gambar b. Sebaliknya, jika harga diperkirakan akan menurun, para penjual justru akan berusaha menjual sebanyak mungkin selama harga belum menurun, sehingga menyebabkan jumlah baju yang ditawarkan meningkat. Kurva penawaran bergeser seperti ditunjukkan oleh gambar a.

5. Pajak dan Subsidi

Beberapa jenis pajak ( misalnya pajak penjualan ) menyebabkan biaya produksi dan harga jual naik. Dengan demikian menyebabkan penawaran berkurang, seperti terlihat pada kurva b. Sebaliknya, subsidi dari pemerintah akan memperkecil biaya produksi dan harga jual baju, akibatnya akan menambah penawaran, kurva penawaran akan bergeser seperti pada gambar a.

6. Pembatasan pemerintah

Kebijakan pemerintah juga dapat mempengaruhi penawaran suatu barang. Kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor bahan baku pembuat pakaian (baju) dan meningkatkan produksi dalam negeri, menyebabkan produsen meningkatkan produksi baju. Kebijakan ini akan menambah penawaran baju dan keperluan impor baju dapat dikurangi. Hal ini ditunjukkan oleh kurva a.

Mata Kuliah Teori Ekonomi I Dosen - Dr. Prihantoro


Penetapan Harga ( Ceiling Price dan Floor Price )

Bentuk intervensi pemerintah dalam ekonomi mikro adalah kontrol harga. Tujuan kontrol harga adalah untuk melindungi konsumen atau produsen. Bentuk kontrol harga yang paling umum digunakan adalah penetapan harga dasar ( floor price) dan harga maksimum ( ceiling price).


Penetapan Harga Maksimum ( Ceiling Price )



Penetapan harga maksimum merupakan batas tertinggi harga penjualan yang harus dipatuhi oleh produsen. Kebijakan penetapan harga maksimum ini bertujuan untuk melindungi konsumen, agar konsumen dapat menikmati harga yang tidak terlalu tinggi. Jika harga suatu barang dianggap terlalu tinggi sehingga tidak dapat dijangkau lagi oleh masyarakat, maka pemerintah dapat menetapkan harga maksimum atau biasa disebut Harga Eceran Tertinggi ( HET ) atau ceiling price. Maksud HET adalah bahwa suatu barang tidak boleh dijual dengan harga lebih tinggi daripada yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Jika HET ditetapkan sama dengan atau lebih tinggi daripada harga keseimbangan sebagaimana ditetentukan oleh supply dan demand di pasaran, maka penetapan harga ini tidak banyak pengaruhnya, dan hanya sekadar untuk mencegah para penjual menaikkan harga lebih daripada batas yang ditetapkan itu. Tetapi bila HET itu lebih rendah daripada harga keseimbangan, akan timbul berbagai persoalan.

Perhatikan gambar di atas. Harga keseimbangan antara supply dan demand adalah Rp 3000. Harga ini dipandang terlalu tinggi. Maka pemerintah menetapkan HET sebanyak Rp 2.000, agar barang dapat dibeli oleh masyarakat. Tetapi pada harga Rp 2.000 ini Qd >Qs. Jumlah yang mau dibeli 30, sedangkan jumlah yang mau dijual pada harga itu hanya 15. jadi ada kekurangan. Kekurangan ini dapat menimbulkan pasar gelap sebab untuk memperoleh jumlah sebanyak 15 tersebut para pembeli bersedia membayar sampai Rp 3.500.

Seandainya jumlah 15 ini dijual di pasar bebas, maka akan bisa mencapai harga Rp 3.500. Tetapi HET yang ditetapkan oleh pemerintah hanya Rp 2.000. Inilah yang menimbulkan pasar gelap, barang dijual secara gelap dengan harga di atas HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Cara ini hanya menguntungkan pedagang, sedang masyarakat yang membutuhkan barang tidak kebagian.

Persoalan yang timbul bila HET ditetapkan lebih rendah daripada harga keseimbangan pasar adalah bahwa pada harga HET itu jumlah yang mau dibeli lebih besar daripada jumlah yang mau dijual ( Qd > Qs ) sehingga timbul kekurangan suplai.


Penetapan Harga Dasar ( Floor Price )



Harga dasar merupakan tingkat harga minimum yang diberlakukan pemerintah. Penetapan harga dasar ini bertujuan untuk melindungi produsen, karena dirasakan harga pasar produk yang dihasilkan dianggap terlalu rendah sehingga pendapatan para produsen terancam. Untuk melindungi para produsen maka pemerintah dapat campur tangan dengan menetapkan harga minimum atau Harga Eceran Terendah. Harga minimum ini lebih tinggi daripada harga keseimbangan yang berlaku di pasar dan disebut Harga Dasar ( Floor Price ).

Perhatikan gambar di atas. Harga keseimbangan hanya mencapai Rp 2.000. Harga ini dianggap terlalu rendah. Maka pemerintah menetapkan harga terendah Rp 3.000. Dengan demikian, pendapatan para produsen tidak terlalu minim. Tetapi, pada harga Rp 3.000 ini ternyata timbul suatu surplus, karena Qs > Qd. Terhadap adanya surplus, mungkin pemerintah akan membelinya untuk disimpan sebagai stock atau untuk dijual ke luar negeri. Hanya dengan jalan demikian penawaran tidak berkurang.


Sumber : Buku Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro

Mata Kuliah Teori Ekonomi I ( Dosen - Pak Prihantoro )